Minggu, 05 Desember 2010

Dicari: Koloni Bumi di Luar Angkasa


Agar tak musnah, di masa depan manusia diimbau mencari tempat huni lain di luar Bumi .
JUM'AT, 8 OKTOBER 2010, 20:40 WIB
Elin Yunita Kristanti
(sciencedaily.com)
VIVAnews – Tubuh lelaki itu terikat di tiang pancang di Campo dei Fiori. Giordano Bruno, lelaki 52 tahun itu dihukum bakar hidup-hidup. Darahnya belum kering ketika api menyulut tiang itu. Tubuh Bruno hangus. Hari itu 19 Februari 1600, sang filsuf dan astronom itu, tamat dengan tragis.
Abunya dibuang di Sungai Tiber. Semua karyanya dimasukkan dalam Index Librorum Prohibitorum, daftar buku terlarang Gereja Katolik Roma pada 1603. Bagi inkuisisi Roma, Bruno adalah penyeru bidah. Dia menentang gereja, yang sedang melawan pandangan Copernicus.
Bruno, pendukung Copernicus itu, yakin bahwa Matahari, dan bukannya Bumi, menjadi pusat tata surya. Temuan Copernicus itu kelak mengubah pola pikir dunia manusia modern untuk selamanya.
Awal abad ke-20, kenyataan itu kian terang. Alam semesta tak terbatas. Dari atas Gunung Wilson, Edwin Hubble menggunakan teleskop terbesar di jamannya, dan dia menemukan nebula di langit adalah kumpulan pulau-pulau bintang yang jaraknya jauh dari galaksi kita. Tiap pulau terdiri dari miliaran bintang.
Hasil pengamatan Hubble membuktikan potensi planet yang bisa dihuni tak terhingga. Namun hampir seabad berlalu, tak ada bukti meyakinkan tentang keberadaan dunia yang bisa dihuni.

Menurut data dari situs Jet Propulsion Laboratory NASA, tonggak penemuan planet ekstrasolar terjadi pada tahun 1994 ketika Dr Alexander Wolszczan, astronom radio di Pennsylvania State University  menemukan 'bukti tak terbantahkan' tentang sistem planet ekstrasolar.

Wolszczan menemukan 2-3 obyek mengorbit pulsar --bukan bintang normal, di konstelasi Virgo. Pulsar adalah sisa-sisa ledakan supernova padat. Namun, temuan tersebut jadi perdebatan. Sebab, planet temuannya bermandikan sinar radiasi tinggi, dan tak mungkin dihuni mahluk.

Penemuan pertama planet yang mengorbit bintang -- yang mirip Matahari -- terjadi pada 1995. Tim astronom Swiss dipimpin Michel Mayor and Didier Queloz menemukan planet yang mengorbit di dekat Bintang 51 Pegasi.

Planet itu berukuran sekira setengah massa Yupiter sampai tak lebih dari dua kali planet terbesar dalam tata surya kita itu.

Penemuan ini lalu diikuti banyak temuan lain.  Tiga bulan kemudian, tim yang dipimpin oleh Geoffrey W. Marcy dan Paul Butler dari San Francisco State University dan University of California Berkeley mengkonfirmasi temuan tim Swiss. Mereka bahkan menemukan dua planet lain.

Mencari alien
Profesor Riset Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, sebenarnya pencarian planet mirip Bumi adalah pencarian terhadap kemungkinan adanya kehidupan lain selain di bumi.
“Tujuan untuk menemukan tempat lain yang bisa dihuni oleh manusia, sebenarnya cuma melengkapi,” kata dia ketika dihubungi VIVAnews, Kamis 6 Oktober 2010. Ada perbedaan pandangan soal kehidupan lain di luar Bumi, pertama, kehidupan itu bisa berupa apapun termasuk mikroba.
Sementara, kecenderungan anggapan benda langit dihuni mahluk cerdas seperti manusia menjadi trend di abad ke-20.  Ini diperkuat laporan penampakan UFO (unidentified flying object) atau dalam Bahasa Indonesia disebut BETA (benda terbang aneh) – istilah yang dipopulerkan Ketua LAPAN era 1960-an, RJ Salatun.
Ilmuwan memperkirakan kehidupan ada di planet layak huni mirip dengan Bumi.  ” Yang memiliki sumber panas. Tapi tidak terlalu panas, dan tidak terlalu dingin. Selain itu seperti juga bumi, planet itu padat, bukan gas, dan memiliki atmosfir, dan juga adanya air,” jelas Thomas Djamaluddin.
Ada tiga syarat utama sehingga sebuah planet bisa dibilang layak huni, yakni harus adanya sumber panas, air, dan adanya kehidupan organik.  Di tata surya kita, ada beberapa lokasi kandidat penyimpan kehidupan, yakni Planet Venus, Mars, satelit Yupiter – Europa, satelit Saturnus – Enceladus dan Titan.
Titan memiliki danau metana dan etana. Juga Enceladus dengan uap-uap airnya. Sementara Mars, yang terdekat dengan Bumi  memiliki deposit sulfat. Di Bumi, sulfat adalah lokasi penyimpanan  organisme kuno.
Seperti dimuat situs Christian Science Monitor (CSM), di Mars terdapat lokasi kaya mineral disebut Nili Fossae. Diduga itu jejak kehidupan purba di Mars, mungkin sekitar 4 juta miliar tahun lalu. Kondisi Nili Fossae mirip daerah East Pilbara di Australia Barat --yang menyimpan bukti keberadaan kehidupan di masa awal Bumi.
Sementara, dari lebih 490 planet di luar tata surya (ekstrasolar) yang sudah diketahui, baru satu planet yang datanya cukup lengkap untuk disimpulkan berada pada "zona layak huni" bagi kehidupan: Planet Gliese 581g.
Sinyal aneh 
Selagi menyusur planet mencari tanda kehidupan, para ilmuwan di Bumi terus memonitor kemungkinan adanya transmisi dari planet lain – dengan asumsi ada mahluk cerdas selain manusia.

Khususnya yang dilakukan oleh organisasi SETI (Search for Extra-terrestrial Intelligence). SETI diharapkan membuat lompatan dengan menggunakan Allen Telescope Array -- jaringan piringan radio yang sedang dalam proses pembangunan di California utara. Pada tahun 2015 diharapkan, array itu bisa memindai ratusan ribu bintang untuk mencari tanda-tanda kehidupan mahluk ekstraterresterial.

Pada Desember 2008, Dr Ragbir Bhathal, ilmuwan dari University of Western Sydney mengaku melihat sinyal aneh dari orbit bintang cebol, Gliese 581, jauh sebelum diumumkan bahwa ada planet yang bisa dihuni mahluk hidup -- Gliese 581g.
Tak kurang dari astrofisikawan tenar, Stephen Hawking meyakini  keberadaan alien. Dalam seri Discovery Channel, ia bahkan memperingatkan manusia untuk berhati-hati melakukan kontak dengan kehidupan asing di luar bumi. Para alien itu mungkin tak ramah.

Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA juga tak menampik kemungkinan adanya alien cerdas di suatu tempat di alam semesta. NASA mengirim sinyal ke luar angkasa berupa sebuah tembang dari grup pop legendaris, The Beatles.

Tembang itu berjudul, "Across the Universe" (Melintasi Alam Semesta). Sama seperti Hawking, para ilmuwan NASA percaya bahwa ada kehidupan lain di luar Bumi, bahkan di luar galaksi yang dihuni Matahari dan keluarganya.

Tembang itu dikirim NASA pada 4 Februari 2008 dari stasiun transmisi Deep Space Network di Madrid, Spanyol. Sinyal itu disampaikan ke Bintang Utara (North Star), di jagat Polaris, yang berjarak sekitar 4.000 triliun km dari Bumi. Itulah sebabnya, menurut perhitungan NASA, sinyal itu dengan kecepatan 186.000 mil per detik tampaknya baru sampai ke tujuan pada tahun 2439.

Koloni baru di luar Bumi
Meski berkata, “hati-hati dengan alien”, Stephen Hawking memberikan dukungan 100 persen pada penjelajahan angkasa. Dia mendesak manusia segera mencari koloni Bumi. Masa depan spesies manusia, kata dia, 'berada di ruang angkasa'.

Hawking memperingatkan koloni harus segera ditemukan dalam beberapa abad, atau spesies manusia bisa punah. Daya dukung Bumi makin lemah, dan Hawking cemas, manusia ada dalam bahaya besar.

Ancaman terhadap eksistensi manusia bisa berarti perang, penurunan sumber daya alam, dan overpopulasi membuat risiko hidup di Bumi berkali lipat.  "Sangat sulit menghindar dari bencana dalam beberapa ratus tahun mendatang, apalagi dalam ribuan, atau jutaan tahun ke depan," kata Hawking kepada situs Big Think, seperti dimuat laman Telegraph, 9 Agustus 2010.

"Satu-satunya agar manusia bisa bertahan dalam jangka waktu lama adalah untuk tidak tergantung pada Bumi. Manusia harus pindah, menyebar di luar angkasa," kata dia.

Penyebaran ke luar angkasa tak semudah membalik telapak tangan. Mengekplorasi planet lain adalah tantangan berat. Apalagi mengkondisikannya sebagai koloni Bumi.

Upaya Indonesia
Meski jarang terdengar di percaturan astronomi dunia, Indonesia tak tinggal diam. Kepala Balai Observasi Boscha, Hakim L Malasan mengatakan, sejak 2004, Boscha juga telah melakukan penelitian terhadap planet-planet mirip Bumi.

"Sebenarnya teknik yang mereka [ilmuwan penemu Glise 581g] gunakan sama dengan teknik yang kita lakukan hanya saja instrumen yang mereka gunakan lebih canggih, mereka menggunakan teropong yang lensanya berdiameter 1,5 sedangkan kita hanya punya diameter 60cm dan 40cm, jadi redup saat mengamatinya," jelas Hakim.

Terbatasnya dana jadi kendala utama. Alih-alih menyisir langit, penelitian teoritis lebih ditekankan. Padahal, tak mahal membangun teropong optik. “Hitungan saya hanya butuh Rp10 miliar untuk membangun teropong beserta bagunannya, ini sangat berguna demi perkembangan astronomi Indonesia," harapnya.

Namun, Hakim membantah Indonesia terisolasi dalam dunia astronomi. Salah seorang putra bangsa, Jony Setiawan, memimpin peneliti ekstrasolar planet di Jerman, karena di sana instrumennya lebih mendukung.

Penemuan planet layak huni di luar tata surya belum jadi solusi bagi manusia. "Permasalahannya ada di alat transportasi menuju kesana sekitar 20 tahun cahaya  atau 200 triliun kilometer. Jika pesawat yang digunakan dalam wahan ruang angkasa saja hanya mempunyai kecepatan 70 ribu km/jam, bisa dibayangkan kapan sampainya," kata Hakim.

Para peneliti, kata Hakim, cenderung mencari cara bagaimana agar planet terdekat bisa dihuni. "Dari pada mencari cara membuat alat transportasi ke Glise 581g, penelitian sekarang cenderung lebih mencari cara agar Mars bisa dihuni," tambah dia. 

Zarmina, Planet 'Kembaran' Bumi


Hangatnya seperti di Meksiko atau Ekuador. Planet itu layak huni bagi manusia.
JUM'AT, 8 OKTOBER 2010, 19:52 WIB
Indra Darmawan
Beberapa planet mengitari bintang kerdil merah Gliese 581 (www.eso.org)
VIVAnews - Kapal Enterprise itu berputar. Mengitari planet jingga yang diselimuti awan tipis. Nama planet itu Fotialla. Setelah agak dekat, Kapten James Kirk turun ke permukaan. Sang komandan meluncur dengan teknologi teleportasi. Sementara, kemudi kapal diambil alih Mr Spock.
Yang mereka tahu, Fotialla atau planet M-113, adalah planet tua dengan peradaban yang telah mati. Faktanya tidak. Mereka diserang oleh alien buruk rupa yang mampu bersalin wajah seperti manusia. Bahkan alien menyelusup ke dalam Enterprise dan menewaskan beberapa kru kapal. 
Ini bukan kisah nyata, melainkan salah satu adegan Star Trek dalam episode 'The Man Trap'. Semua kejadian fiksi itu digambarkan terjadi tahun 1513.1. Di skenarionya, Fotialla dikategorikan sebagai Planet kelas-M. Planet jenis ini memiliki atmosfer dengan kandungan oksigen, nitrogen, dan air yang berlimpah.
Dalam dunia nyata, klasifikasi planet kelas-M itu mirip dengan terminologi ilmiah ‘Planet Goldilock.’ Para ahli meramalkan, di planet inilah, manusia suatu saat bisa tinggal.
Akhir September 2010, sekawanan pakar pemburu planet baru, menemukan salah satu planet goldilock. Planet baru itu kemudian diberi nama Gliese 581g.
Tim pemburu yang menemukan Gliese 581g, itu adalah Steven Vogt dari University of California (UC) Santa Cruz, Paul Butler dari Carnegie Institution, Eugenio River dari UCSC, Nader Hagahighipour dari University of Hawaii, Manoa, serta Gregory Henry dan Michael Williamson, dari Tennessee State University.
Planet  581g ini terletak di konstelasi Libra, dalam sistem tata surya bintang kerdil merah (Red Dwarf). Bintang kerdil berwarna merah itu dikatalogkan astronom Jerman Wilhem Gliese, pada tahun 1957. Guna menghormat sang penemu, bintang kerdil merah yang menyerupai matahari itu kemudian diberi nama Gliese 581.
Gliese 581 memiliki sejumlah planet yang mengitarinya, yang kemudian diberi nama Gliese 581 dengan diimbuhi dengan abjad di belakangnya sebagai pembeda.
Planet yang paling dekat dengan bintang induk Gliese 581 diberi nama Gliese 581e, disusul Gliese 581b, dan Gliese 581c. Planet yang berada di posisi keempat adalah planet yang baru ditemukan, Gliese 581g. Dua planet di belakangnya diberi nama Gliese 581d, dan yang terjauh  Gliese 581f.
Namun yang kini paling menarik perhatian adalah Gliese 581g. Sebab planet baru itu sangat mirip dengan kondisi bumi.
Steven Vogt, penemu planet itu, kurang sreg dengan nama Gliese 581g. Planet baru ini, katanya, "terlalu cantik untuk diberi nama Gliese 581g." Vogt lebih suka menamainya  Zarmina, nama istri Vogt yang tinggal di California.

Mengenal Zarmina Lebih Dekat 
Planet ini mirip dengan bumi. Ukurannya lebih besar, sekitar 20 hingga 50 persen lebih besar dari bumi. “Planet ini bisa menampung lebih banyak real estate daripada bumi,” kata Vogt setengah bercanda. Dengan ukuran sebesar itu, Zarmina tentu saja bisa mampu menampung lebih banyak mahluk hidup, termasuk manusia.
Bagaimana keadaan di sana? Zarmina ini memiliki massa 3 hingga 4  kali lebih besar dari massa bumi. Gravitasi di permukaannya juga lebih besar, sekitar 1 hingga 1,5 lebih besar dari gravitasi bumi. Artinya, kalau kalau di bumi bobot Anda 70kg, maka di Zarmina akan melar hingga sekitar 100kg.
Kekuatan gravitasi yang lebih besar itu, membuat Zarmina mampu menahan lapisan atmosfer di permukaannya. Atmosfir memang sangat penting, terutama untuk menjaga tekanan air, agar tetap bisa berwujud cair.

“Dari data yang kami kumpulkan planet ini berada di jarak yang tepat untuk menemukan keberadaan air, dan massa planet ini juga tepat untuk keberadaan atmosfir,” kata Paul Butler, peneliti  dari Carnegie Institution of Washington, yang membantu Vogt. Dengan posisi seperti itu, Zarmina mungkin saja bisa dihuni manusia.
Ahli Riset Astronomi Astrofisika dari LAPAN, Profesor Dr. Thomas Djamaludin, menegaskan bahwa setidaknya ada tiga syarat utama sebuah planet bisa dihuni. Yakni sumber panas (matahari), air dan kehidupan organik. Dari indikasi yang ditemukan para ahli, Zarmina sudah memenuhi dua dari tiga syarat tadi.
Jarak Zarmina dengan matahari ( Gliese 581) sekitar 0,15 satuan astronomi (SA). Dan 1 satuan SA setara dengan jarak bumi dengan matahari, atau sekitar 150 juta km.
Artinya, jarak Zarmina dengan mataharinya (Gliese 581) 7 kali lebih dekat  daripada jarak bumi ke matahari. Bila bumi memiliki revolusi selama 364 hari, Zarmina hanya memerlukan 37 hari guna menuntaskan sekali putaran di orbitnya.
Karena Gliese 581 jauh lebih kecil dari ukuran matahari yang dikitari bumi, bintang itu tak akan sepanas matahari. Oleh karenanya, suhu rata-rata permukaan Zarmina, diperkirakan berkisar antara -31 hingga -12 derajat Celsius.
Namun temperatur aktual planet ini cukup ekstrim. Bisa sangat panas. Bisa pula sangat dingin. Menurut Vogt, di antara kawasan panas dan dingin, terdapat wilayah terminator.
Pada wilayah terminator yang dilewati garis khatulistiwa, suhunya terasa hangat, seperti di Meksiko atau Ekuador, di mana penghuni di sana masih cukup nyaman mengenakan kaus berlengan.
Di wilayah yang panas, angin akan bertiup dengan kecepatan 30-40 mil per jam. Sementara di tempat yang dingin, angin berhembus dengan kecepatan hingga 10 mil per jam.
Uniknya, lantaran letaknya cukup dekat dengan bintang induk, Zarmina sama sekali tidak melakukan rotasi seperti bumi. Untuk mempertahankan posisinya dari tarikan gravitasi matahari (Gliese 581), posisi Zarmina terkunci.
Permukaan yang menghadap matahari akan tetap mendapat cahaya dan panas, sementara permukaan sebelah belakang akan gelap dan dingin sepanjang masa. Oleh karenanya, di planet itu tidak ada siang dan malam. Bagian yang menghadapi matahari selalu siang dan bagian sebaliknya, malam selalu.

Sejak 11 Tahun Lalu
Penemuan ini adalah hasil jerih payah Steven Vogt dan timnya, yang mengawali penelitian yang disponsori National Science Foundation dan NASA, sejak 11 tahun lalu.
Vogt, adalah Profesor astronomi dan astrofisika yang telah melakukan observasi di berbagai riset UCSC dan University of California Observatories, sejak 1978. Vogt adalah orang yang mendesain spektrometer HIRES, yang digunakan untuk mengukur kecepatan radial sebuah bintang.
Menurut Kepala Observatorium Boscha Lembang, Hakim L Malasan, Vogt  adalah salah satu tokoh pionir dalam penemuan planet yang layak huni, selain Prof Michel Mayor dan Didier Queloz yang pada 1995 menemukan planet ekstrasolar (planet-planet di luar tata surya) pertama, di sistem bintang 51 Pegasi.
Penemuan Zarmina sendiri disandarkan pada penelitian-penelitian di Observatorium WM Keck di Mauna Kea, Hawaii, yang dikombinasikan dengan data-data dari Observatorium Geneva Swiss, yang sebelumnya sudah menemukan empat planet Gliese lain.
Ini memang seperti berada di perbatasan antara fiksi dan kenyataan. Para peneliti sendiri tak pernah melihat langsung planet Zarmina melalui teleskop, karena teleskop hanya bisa melihat cahaya dari bintang induk Gliese 581.
Mereka hanya bisa menganalisa adanya planet-planet - termasuk Zarmina, dengan menggunakan spektrometer yang mampu mengukur kecepatan radial bintang Gliese 581.
Gaya tarik menarik antara bintang Gliese 581 dengan Zarmina, menyebabkan bintang induk mengalami pergerakan dan berputar pada orbit yang kecil. Dengan mengamati kecepatan radial itulah, kemudian planet Zarmina terdeteksi dan dapat diperkirakan massa dan orbitnya.
Penemuan Zarmina sendiri dicapai melalui perdebatan dan kompetisi yang cukup seru di kalangan para peneliti. Untuk mengumpulkan data-data, setiap tahun Tim Vogt hanya memiliki 15 hari untuk menggunakan teleskop, yang diantre oleh begitu banyak tim yang meriset berbagai obyek penelitian.
Tim Vogt sempat berkonflik dengan Observatorium Geneva, ketika mereka meminta data-data yang sangat penting. "Saya sempat mengatakan kepada pihak Swiss bahwa ini adalah kerja keras dan dan kita harus melewati tahapan di mana, 'Data kami lebih sempurna dan data Anda tidak, dan seterusnya, dan seterusnya,'" kata Vogt.
Untungnya, Vogt berhasil meyakinkan pihak Swiss untuk membagi data-data guna menuntaskan risetnya. "Saling membantu satu sama lain, adalah cara terbaik untuk menemukan kebenaran," ujarnya.

Planet Habitable Selanjutnya
Penemuan Vogt itu disanjung para ilmuwan ternama. Salah satunya adalah Sara Seager, pakar Eksoplanet (planet-planet di luar tata surya) dari MIT. “Penemuan ini sangatincremental dan monumental,” kata Sara.
Menurutnya, riset-riset yang dilakukannya telah menemukan beberapa planet yang lebih kecil dan letaknya dekat dengan zona yang bisa ditinggali manusia (habitable zone). Tapi, dia melanjutkan, “Ini adalah planet yang benar-benar berada di habitable zone.”
Disanjung begitu rupa, Vogt dan Butler tetap merendah. Penemuan ini, kata Vogt, bukanlah puncak dari pencapaian astronomi. Zarmina, katanya, cuma pemicu awal yang akan membawa ke berbagai penemuan planet-planet Goldilock berikutnya.
"Planet ini begitu dekat, dan kami menemukannya dengan cukup singkat.  Boleh jadi, kami akan menemukan yang seperti ini lagi," kata Vogt.
Di luar Zarmina, diperkirakan masih ada lebih dari 400 planet ekstrasolar yang menunggu ditemukan. Namun, seperti kata Profesor Thomas Djamaluddin, penemuan planet-planet habitable saat ini lebih pada tujuan penemuan terhadap kemungkinan adanya kehidupan mahluk cerdas lain selain manusia.
Sementara untuk tujuan untuk membangun koloni manusia di planet tersebut, masih belum terpikirkan.  “Itu masih lebih mirip dengan cerita science fiction,” kata Djamaluddin. Sebab, untuk mencapai planet Zarmina yang jauhnya sekitar  20 tahun cahaya (sekitar 200 triliun km), butuh waktu yang sangat lama.
Menurut Vogt, sebuah pesawat luar angkasa berkecepatan sepersepuluh kecepatan cahaya (kecepatan cahaya adalah 300 ribu km per detik), baru akan membawa manusia sampai ke planet itu dalam waktu 220 tahun.
Saat ini, mungkin hanya Kapten Kirk dengan USS Enterprise-nya yang bisa membawa manusia ke Zarmina. Kecepatan aman USS Enterprise  yang mencapai 5 Warp (sekitar 100 kali kecepatan cahaya) secara teoritis bisa membelah jarak bumi ke Zarmina hanya dalam tempo kurang dari 2 jam.

Rabu, 01 Desember 2010

Cahaya Ajaib dari Utara Bumi


Cahaya utara ini tetap memberikan lukisan cantik di langit.
RABU, 29 SEPTEMBER 2010, 11:18 WIB
Ita Lismawati F. Malau
Cahaya Aurora Borealis yang mencapai titik minimum  
VIVAnews - Cahaya Utara atau aurora borealis berangsur-angsur mereda dan mencapai titik terendah. Dan cahaya ini tetap memberikan lukisan langka dan tetap cantik di langit dalam 100 tahun terakhir.

Institut Meteorologi Finlandia menjelaskan bahwa aurora borealis umumnya mengikuti 'siklus matahari' 11 tahunan, di mana frekuensi fenomena meningkat hingga maksimum dan kemudian berangsur-angsur memasuki fase minimum, setelah itu kembali mengulangi siklus.

"Siklus minimum matahari sebenarnya sudah terjadi 2008, tapi hal ini (siklus minimum) malah terjadi terus menerus," kata peneliti Noora Partamies seperti dikutip dari yahoo news. Di tengah tahun ini, peneliti masih melihat peningkatan aktivitas matahari, namun mereka tidak bisa memastikan apakah aktivitas ini sudah keluar dari level minimum atau belum.

Cahaya Utara yang menampakkan pola cantik seperti nyala api yang dihasilkan dari benturan angin dari matahari dengan bumi yang kemudian ditarik ke kutub magnet. Sebenarnya, fenomena cantik ini menimbulkan kerusakan pada bagian atmosfer, yakni ionosfer dan magnetosfer.
Foto aurora

Fenomena tahapan minumum aurora di atas, menurut peneliti, dapat juga diartikan sebagai sinyal meredanya badai di matahari karena angin dari pusat tata surya ini berkurang.

Untuk kali pertama, bagi peneliti seperti Partamies, fenomena ini bisa dipantau dan diteliti menggunakan stasiun observasi modern, bagaimana dampak terburuk dari dari sebuah siklus matahari ini.

"Kami menunggu apa yang akan terjadi. Apakah siklus maksimum akan tepat waktu, atau mungkin terlambat. Apakah ini akan besar?" kata dia. Hal ini terkait dengan pemberitaan sebelumnya bahwa badai matahari diperkirakan mencapai puncaknya pada 2013. Badai ini diduga akan membawa malapetaka pada bumi.
Cahaya aurora

Selama siklus puncak pada tahun 2003, stasiun di pulau Svalbard Norwegia dekat Kutub Utara, menunjukkan bahwa cahaya utara terlihat hampir setiap malam, satu musim auroral. (sj)

Misteri Semburan Naga di Sungai Mekong


Tiap tahun, ratusan bola api muncul dari dalam Sungai Mekong ke angkasa. Semburan nagakah?
RABU, 13 OKTOBER 2010, 17:18 WIB
Indra Darmawan

  (hubpages)

VIVAnews - Bila Anda mengunjungi Thailand di bulan Oktober, jangan lewatkan untuk menyambangi Provinsi Nong Khai, di sebelah Timur Laut negeri itu.
Setiap tahun, di tepian Sungai Mekong yang membelah provinsi itu dengan negara Laos, ratusan ribu orang berkumpul untuk menyaksikan sebuah fenomena unik yang telah terjadi sejak seratusan tahun yang lalu, yakni munculnya bola api yang mereka sebut dengan Bung Fai Paya Nak, alias Bola Api Naga.
Dari dalam sungai Mekong akan muncul bola api yang kemudian meluncur ke angkasa hingga setinggi seratusan meter. Warnanya bisa berbeda-beda; merah, pink, atau putih. Warga sekitar percaya bahwa bola api itu adalah semburan nafas dari Naga yang hidup di wilayah itu.
Bola-bola api itu bisa muncul secara berurutan hingga belasan kali. Setelah mengangkasa, bola api tadi menghilang di kegelapan. Setiap tahun, sekitar 200-800 bola api itu terlihat di sepanjang sungai. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa bunyi maupun asap.
Biasanya fenomena ini terjadi hanya sekitar 1-3 hari dalam setahun, di akhir retreat musim hujan umat Budha setempat, yang biasa digelar pada bulan Oktober. Fenomena ini hanya bisa dilihat pada malam hari, di awali dengan peluncuran perahu yang dihias dan diterangi oleh ribuan lilin ke sungai. 
Bola api yang dipercayai merupakan semburan Naga di Sungai Mekong
Oleh karenanya, menurut warga setempat, sang naga muncul dari dasar sungai dan bergabung dengan perayaan ritual itu untuk menyambut Sang Budha. Sebab, menurut kepercayaan mereka, saat itulah Budha kembali ke bumi, setelah memberikan khotbah untuk ibunya di surga.
Bagi masyarakat Nong Khaya, legenda naga di daerah itu sama seperti legenda monster di Sungai Loch Ness yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kepada Majalah Time, Kepala Biara Wat Paa Luang, Phrakhru Pichai Kitjaton, mengatakan bahwa kesaksian dari berbagai biarawan sudah diabadikan dalam catatan tertulis di biara yang letaknya dekat dengan Sungai Mekong itu, sejak ratusan tahun lalu.
"Ibu saya, ayah saya pernah melihat mereka (naga). Saya juga pernah melihatnya. Naga itu besar, berwarna perak, dan berenang seperti ular di dalam sungai. Saya melihatnya saat saya merusia 13 tahun," kata Pang Butamee, warga setempat 78 tahun.
Namun, Kementerian Ilmu Pengetahuan Thailand menampik legenda itu. Melalui rilis resminya, mereka berkesimpulan bahwa bola api naga itu hanya mitos. "Fenomena itu disebabkan oleh gas fosfin (PH3)  yang menyala," kata Deputy Permanent Secretary Kementrian Ilmu Pengetahuan Thailand, Saksit Tridech.
Ilustrasi Naga menyemburkan bola api di Sungai Mekong
Sekelompok tim dari kementerian memang sempat memasang pemindai suhu (thermo-scanner) di beberapa tempat di tepi sungai Mekong di daerah Rattana Wapee. Saat bola naga muncul, peralatan itu menangkap adanya pergerakan gas dari dalam air, sebelum orang-orang melihat bola api itu menyala.
Jadi, kata pihak kementerian, bola api itu sangat tergantung dengan kandungan gas dari dalam sungai, yang biasanya memuncak di bulan Oktober. 
Sementara, Manas Kanoksin, seorang ilmuwan lokal mengatakan bahwa hal itu juga tak lepas dari peran gravitasi matahari yang akan membantu lepasnya gas methan dari dasar sungai. Sebab, kata Kanoksin, pada bulan Oktober, bumi sedang berada di titik terdekat dengan matahari. (sj)